Monday 10 August 2015

Salary Cap untuk Sepakbola Indonesia

Salary cap mulai dipertimbangkan untuk diimplementasikan di liga Indonesia 2015-2016. Menurut penulis Indonesia agak terlambat memberlakukan salary cap, walaupun lebih baik terlambat tapi tidak sama sekali. Penulis menulis artikel tentang topik ini hampir tiga tahun lalu di tabloid Bola edisi 13-15 Agustus 2012. Judul artikelnya "Liga 18 Milyar".

Sebelum 2011, jarang terdengar berita pemain ditunggak gaji sampai berbulan-bulan seperti sekarang. Saat itu, kebanyakan klub mengandalkan dana APBD. Yang penting manajemen klub bisa meyakinkan kepala daerah dan DPRD untuk mengucurkan dana 30 atau 40 milyar setiap tahun. Saat itu para pemain bisa menikmati penghasilan besar. Keuangan klub stabil karena tak perlu mencari sponsor, cukup mengandalkan APBD.

Semua berubah pasca dilarangnya penggunaan APBD tahun 2011. Para pemain terlanjur punya standar gaji tinggi sehingga klub yang butuh mempertahankan prestasi tetap mengontrak mereka dengan nilai tinggi. Sementara mencari sponsor itu tidak semudah yang diharapkan. Mulai ada klub yang tidak mampu mengumpulkan cukup dana untuk operasional tahunan. Mulailah terdengar berita pemain ditunggak gajinya.

Perkembangan diluar lapangan hijau juga berkontribusi membawa industri sepakbola makin terpuruk. Dualisme kompetisi ISL/IPL memukul industri sepakbola Indonesia. Sanksi pembekuan PSSI oleh menpora adalah pukulan yang lebih telak lagi.

Kembali ke salary cap, tujuannya adalah agar klub-klub Indonesia lebih realistis dalam membuat anggaran. Sudah terbukti berapa tahun ini kalau sejumlah klub cenderung nekad soal anggaran, tetap mengontrak pemain mahal-mahal walaupun secara realistis sulit menggaet sponsor. Ujung-ujungnya pemain juga yang menderita karena gajinya ditunggak berbulan-bulan. Karena itulah, perlu aturan seperti salary cap untuk membatasi anggaran gaji pemain.

Salary cap juga memungkinkan kompetisi yang lebih seru. Klub tidak bisa lagi mengontrak banyak pemain bintang sekaligus karena ada batasan salary cap. Kekuatan klub kecil maupun klub besar tidak jauh berbeda karena dana yang dikeluarkan sama-sama dibatasi salary cap.

Respons para pemain mungkin negatif terhadap aturan ini salary cap ini. Misalnya Ramdani Lestaluhu, Asri Akbar dan Fachrudin Aryanto. Aturan salary cap memang mungkin mengancam penerimaan para pemain level atas Indonesia.

Sayangnya, prioritasnya memang bagaimana agar kompetisi sepakbola Indonesia bisa berlangsung tanpa banyak masalah keuangan. Aturan salary cap sangat membantu dalam hal ini. Untuk para pemain yang bersikeras ingin penghasilan lebih, pilihannya adalah berkompetisi di luar negeri.

Masa depan sepakbola kita masih tak menentu. Mungkin PSSI akan kembali menangani sepakbola seperti sebelumnya. Mungkin saja yang tim transisi sukses dalam tugasnya "memfasilitasi pembentukan PSSI baru sesuai mekanisme FIFA". Siapapun yang mengendalikan sepakbola Indonesia nantinya, saya harapkan mampu untuk mempertahankan industri sepakbola Indonesia. Salary cap akan sangat membantu.


No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan, tidak merendahkan pihak manapun dan tidak menyinggung SARA