Saturday 22 August 2015

Tim Transisi Menghadapi Realita Sepakbola di Piala Kemerdekaan

Bukankah sepakbola adalah cabang olahraga paling populer di tanah air? Bukankah penontonnya banyak sampai bisa membentuk konvoi yang terdiri dari bis dan motor? Kalau begitu mustinya sponsornya banyak kan? Masa dari 250 juta penduduk Indonesia tidak bisa menemukan 11 saja yang jago main bola?

Mengurus sepakbola di Indonesia sering disangka "mudah". Sehingga publik sering merasa heran kalau prestasi sepakbola Indonesia dibawah harapan. Alih-alih memahami persoalan, celaan dan tudingan langsung diarahkan kepada pihak-pihak yang saat ini mengurus sepakbola.

Tim transisi pun tidak lepas dari kecenderungan ini, tanpa pengalaman tapi yakin bisa mengelola sepakbola lebih baik. Lihat bagaimana mereka gegabah menargetkan pendapatan 25 milyar dari hak siar TV piala kemerdekaan. Atau bagaimana mereka yakin bahwa biaya piala kemerdekaan sebesar 40 milyar bisa ditutupi oleh sponsor. Padahal semua pemerhati sepakbola tanah air pasti tahu kalau klub-klub yang tampil di piala kemerdekaan bukanlah klub-klub terbaik negeri ini.

Meminjam peribahasa luar: reality bytes. Kenyataan ternyata tak seindah angan-angan. Ajang piala kemerdekaan mengajarkan realitas persepakbolaan kita pada tim transisi.

Beberapa hari yang lalu blog ini sudah memuat betapa misteriusnya sponsor piala Kemerdekaan. Hal yang sangat jauh dari transparansi keuangan. Perkembangan terbaru, Cheppy Wartono dari tim transisi mengklaim piala kemerdekaan ini sudah mendapatkan sepuluh sponsor. Anehnya nama perusahaan-perusahaan yang menjadi sponsor tidak disebutkan. Sponsor biasanya mendanai event olahraga untuk keperluan promosi, karena itu seharusnya nama perusahaan atau merk dagang mereka justru perlu dipublikasikan.

Tim transisi juga sudah mengakui bahwa banyak pertandingan piala Kemerdekaan tidak bisa dijual hak siar televisinya. Hal ini seharusnya sudah diketahui jauh-jauh hari jika tim transisi tidak terlalu percaya diri dan meremehkan penyelenggaraan sepakbola yang ada selama ini. Bagaimana mungkin tim transisi bisa menargetkan 25M dari hak siar televisi piala kemerdekaan?.

Piala kemerdekaan ternyata kurang diminati penonton. Pertandingan Kalteng Putra FC melawan Lampung FC di Medan misalnya. Begitu juga dengan pertandingan-pertandingan piala kemerdekaan yang berlangsung di Madiun. Di situasi perekonomian yang kurang menggembirakan, tidak mudah menarik penonton untuk datang menonton.

Pertandingan piala kemerdekaan juga tak lepas dari kericuhan. Kekerasan pada wasit juga terjadi. Seperti saat seorang ofisial menanduk wasit yang sedang memimpin pertandingan.

Jadi, buat tim transisi, selamat datang di realita sepakbola Indonesia.




No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan, tidak merendahkan pihak manapun dan tidak menyinggung SARA