Monday 31 August 2015

Andai Indonesia Kembali Ke Perserikatan

Musim 1985 adalah masa keemasan bagi kompetisi perserikatan. Partai final divisi utama perserikatan antara Persib menghadapi PSMS pada 23 Februari 1985 di Gelora Bung Karno dipadati 150 ribu penonton. Ini adalah rekor penonton terbanyak sepanjang sejarah untuk kategori pertandingan amatir.

Zaman itu adalah zaman dualisme kompetisi. Kompetisi perserikatan adalah kompetisi amatir yang sudah mulai digelar PSSI sejak 1931. Setiap klub perserikatan biasanya mencakup wilayah satu kabupaten atau kota. Masing-masing klub perserikatan punya klub-klub anggota yang berdomisili di wilayah tersebut. Idealnya, masing-masing perserikatan menggelar kompetisi internal klub-klub anggotanya.

Kompetisi saingannya adalah Galatama atau liga sepakbola utama, kompetisi semiprofesional yang mulai digelar sejak 1979. Galatama adalah pionir industri sepakbola profesional Indonesia. Galatama biasanya menggelar kompetisi penuh dengan sistem home and away.

Kompetisi divisi utama perserikatan 1985 ini berlangsung dalam dua grup, masing-masing diikuti enam klub peserta. Wilayah barat diikuti oleh Persiraja Banda Aceh, PSMS Medan, PSP Padang, Persija Jakarta Pusat, Persib Bandung dan Perseman Manokwari. Putaran pertama berlangsung setengah kompetisi pada 15-22 Januari 1985 di stadion Lampineung Banda Aceh. Putaran kedua berlangsung 30 Januari sampai 6 September 1985 di stadion Menteng dan Gelora Bung Karno, Jakarta.

Sementara wilayah timur diikuti oleh PS Bengkulu, PSIS Semarang, Persebaya Surabaya, Persema Malang, PSM Makassar dan Persipura Jayapura. Putaran pertama berlangsung setengah kompetisi pada 15-21 Januari 1985 di stadion Mattoangin Makassar. Putaran kedua berlangsung 30 Januari sampai 7 September 1985 di Gelora 10 November, Surabaya.

Tiga tim teratas wilayah barat dan tiga tim terbaik wilayah timur maju ke babak enam besar. Babak ini berlangsung secara setengah kompetisi pada 14 sampai 21 Februari 1985 di Gelora Bung Karno, Jakarta. Peserta babak enam besar ini adalah PSMS Medan, Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, Persipura Jayapura dan Perseman Manokwari. Dua tim teratas hasil babak enam besar ini, Persib dan PSMS, berhadapan pada final yang berlangsung pada 23 Februari 1985.

Dari sini mari kita fokus pada sebuah pertanyaan, bagaimana kalau Indonesia kembali ke Perserikatan?

Jika memakai format ISL 18 tim dengan kompetisi penuh, masing-masing tim akan tampil 17 kali di rumah sendiri dan 17 kali di markas lawan. Total ada 306 partai dimainkan. Kompetisi akan berlangsung panjang, katakanlah sekitar enam bulan atau lebih. Klub harus mengeluarkan biaya belasan atau puluhan milyar untuk gaji pemain, offisial, ongkos transportasi dan akomodasi dan lain-lain. Pemain diuntungkan karena klub harus mengontrak mereka cukup lama, minimal setahun.

Format perserikatan seperti dijelaskan diatas sangat menghemat biaya. Total hanya 91 partai dimainkan. Biaya transportasi tidak besar karena sistemnya bukan home and away. Dengan sistem perserikatan, klub dapat sangat menghemat biaya.

Yang "dirugikan" dengan format perserikatan adalah pemain. Kompetisi berlangsung singkat, selesai dalam dua bulan. Artinya klub tidak perlu mengontrak pemain dalam jangka waktu lama. Karena klub tidak mendapat penghasilan dari tiket karena sistem pertandingan bukan home and away, berarti klub tidak bisa membayar pemain dengan nilai yang besar. Sistem ini tidak cocok dengan pemain Indonesia saat ini yang sudah terbiasa dengan besarnya standard  gaji ISL.

Kesimpulan, sistem seperti perserikatan tidak cocok dengan sepakbola profesional. Industri sepakbola nasional sulit berjalan dengan sistem ini. Sistem perserikatan tetap layak dipakai untuk kompetisi non-profesional.

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan, tidak merendahkan pihak manapun dan tidak menyinggung SARA