Sunday 13 December 2015

Peter Schmeichel dan Ranah Tiga Warna

Suatu hari saat sedang di mesjid, tiba-tiba diluar hujan lebat. Alhasil saya tidak bisa pergi kemana-mana. Hal ini berlangsung sekitar satu jam sampai akhirnya jemputan datang.

Untunglah di mesjid itu ada perpustakaan. Ada banyak buku yang untuk dibaca-baca sembari menunggu hujan reda. Pilihan saya jatuh pada Ranah Tiga Warna karya A Fuadi.

Buku ini bercerita tentang seorang santri lulusan pesantren Gontor yang ingin melanjutkan kuliah ke teknik penerbangan ITB. Ranah Tiga Warna adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk novel. Tapi cerita ini juga disebut-sebut sebagai romantisasi dari masa muda pengarangnya, A Fuadi.

Alkisah, di tahun 1992, adalah seorang remaja bernama Alif. Dia berasal dari daerah sekitar danau Maninjau, Sumatera Barat. Setelah menyelesaikan pendidikannya di pondok pesantren Gontor, Alif pulang ke kampung halamannya untuk mempersiapkan diri mengejar cita-cita: kuliah di teknik penerbangan ITB.

Langkah pertama yang harus ditempuh Alif adalah ikut ujian persamaan SMA. Dia berusaha mengejar materi SMA dengan meminjam buku-buku milik teman-temannya. Tak Alif meminta bantuan pada teman-temannya sepantaran yang berotak brilian.

Alif langsung menyadari kendala besar. Sulit bagi anak pesantren sepertinya untuk menyelesaikan soal-soal eksak seperti fisika dan kimia. Walaupun sudah berusaha mengerti teorinya, tidak berarti bisa mengerjakan soal-soalnya dengan benar. Mungkin remaja secerdas Alif akan bisa mengatasi masalah ini jika dulu sekolah di SMA biasa dan punya waktu tiga tahun untuk belajar. Kondisi saat itu adalah, Alif kelabakan mengejar materi SMA tiga tahun hanya dalam dua bulan saja.

Akhirnya Alif mengambil langkah taktis dan strategis. Dia memutuskan melupakan impiannya kuliah di teknik penerbangan ITB dan memutuskan ikut UMPTN jalur IPS saja. Target kuliah berganti menjadi hubungan international Unpad.

Hari ujian persamaan SMA pun datang. Walaupun sudah berusaha keras, rata-rata nilai Alif hanya 6,5. Alif mulai jadi pesimis akankah dia bisa mewujudkan impiannya kuliah di jurusan hubungan internasional Universitas Padjadjaran.

Dalam kegalauannya, Alif malah jadi lebih tertarik menonton putaran final piala Eropa 1992. Tim favorit saat itu adalah juara bertahan Belanda yang diperkuat superstar sekelas Ruud Gullit dan Marco Van Basten. Alif memilih mendukung Denmark, tim yang sebenarnya tidak lolos ke putaran final Euro 1992 ini. Denmark baru diikutkan karena Yugoslavia yang semestinya lolos terkena hukuman diskualifikasi dari kejuaraan Euro 1992 ini.

Ternyata tim underdog Denmark mampu berbicara banyak. Mereka bahkan lolos sampai babak semifinal menantang tim favorit Belanda. Hasil pertandingan tidak bisa ditentukan lewat waktu normal dan perpanjangan waktu dan harus berlanjut ke babak adu penalti.




Adegan yang paling mengesankan bagi Alif adalah bagaimana Peter Schmeichel bisa mematahkan tendangan penalti Marco Van Basten dengan fingertip save. Denmark memenangkan adu penalti ini dan maju ke final, bahkan sukses menjadi juara euro 1992. Kesuksesan Denmark ini menjadi inspirasi bagi Alif bahwa underdog juga bisa berjaya. Mental siap berkompetisi dan semangat belajar Alif pun telah kembali.

Beberapa bulan kemudian, santri lulusan Gontor itu berhasil lulus UMPTN diterima masuk universitas Padjadjaran, jurusan Hubungan Internasional.

Referensi:
https://en.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Fuadi

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan, tidak merendahkan pihak manapun dan tidak menyinggung SARA