Friday 13 March 2015

Bagaimana Semen Padang Memikat Pemain Muda Berbakat Dari Pelosok Indonesia

Tim muda Semen Padang adalah juara ISL U21 musim lalu. Prestasi yang pantas karena tim kabau sirah ini memang serius mempersiapkan pemain-pemain mudanya. Pemain-pemain Semen Padang U21 tidak hanya berasal dari Sumatera Barat saja. Tim ini aktif merekrut talenta-talenta muda di berbagai pelosok negeri ini.

Pencarian bakat ini bahkan sudah mulai dilakukan sejak level U16. Menurut Very Mulyadi, manajer Semen Padang U16, U19 dan U21, pencarian bakat ini difokuskan ke daerah-daerah yang menjadi kantung bakat sepakbola, seperti Maluku, Papua dan Jawa. Pencarian pemain ini adalah sebuah program jangka panjang sudah berlangsung sejak 2012.

Jadi jangan heran jika banyak pilar Semen Padang U21 berasal dari daerah lain. Nerius Alom misalnya, pemain terbaik ISL U21 ini berasal dari Papua. Pemain penting lain adalah Gugum Gumilar yang berasal dari Jawa Barat. Ada juga Safrial Irfandi yang berasal dari Sumatera Utara. Dan jangan lupa Hendra Bayauw yang berasal dari Tulehu, Ambon.

Pilar asli daerah juga tak mau kalah. Leo Guntara menjadi harapan baru pecinta sepakbola ranah minang yang rindu akan sosok bintang sepakbola asal daerah sendiri. Ada juga Rezzi Syafrianto, talenta yang terdeteksi dari turnamen Semen Padang Cup U21 tahun 2013. Direktur teknik tim junior Semen Padang, Weliansyah menyatakan komposisi pemain adalah 60 persen asli Sumatera Barat dan 40 persen untuk pemain Indonesia lainnya.

Apa daya tarik Semen Padang bagi para pemain muda U21, U19, dan U16?

Harian Bola edisi Rabu 11 Maret 2015 melaporkan bahwa Semen Padang relatif royal pada para pemain mudanya. Anggaran yang besar disediakan untuk masing-masing pemain U16, U19 dan U21 untuk biaya sekolah, asrama, makan, uang saku dan transportasi. Pemain usia sekolah bisa bersekolah di SMP atau SMA milik Semen Padang. Pemain usia kuliah juga dibebaskan bila ingin melanjutkan kuliah.

Fasilitas latihan juga relatif bagus. Apalagi Semen Padang adalah satu-satunya tim ISL yang memiliki lapangan latihan sendiri.

Bandingkan dengan fasilitas di diklat  Salatiga yang dulu menghasilkan pemain sekaliber Bambang Pamungkas dan Kurniawan Dwi Julianto. Fasilitas begitu minim, tidak punya lapangan sendiri, dan mess pemain penuh sesak. Dengan segudang prestasi yang sudah dihasilkan diklat ini, tetap saja ini bukan kondisi yang ideal untuk pembinaan sepakbola.


Referensi:
1. Pembinaan Sepakbola di Semen Padang - Jalankan Filosofi Jaman Kolonial, Harian Bola 11 Maret 2015.
2. Satu pemain Rp 200 juta per tahun, Harian Bola 11 Maret 2015.

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan, tidak merendahkan pihak manapun dan tidak menyinggung SARA